Dunia perunggasan nasional dalam
gejolak. Demikianlah kalimat yang mungkin tepat untuk menggambarkan bagaimana
situasi perunggasan kita saat ini yang seiring dengan krisis ekonomi yang tiada
menentu. Gejolak perunggasan –yang dalam hal ini adalah per-’ayam’-an, cukup
rumit untuk ditelusuri bagai mengurai benang kusut. Mulai fluktuasi harga
broiler, produksi DOC yang (sekarang) kekurangan, harga pakan yang relatif
tinggi, belum harmonisnya hubungan antara peternak kecil dan besar, dan
berbagai permasalahan lainnya cukup membuat “resah” perekonomian nasional dan bikin “pusing” para penentu kebijaksanaan. Namun,
di tengah gejolak per-’ayam’-an itu, ada sekelompok ayam yang sepi dari hingar
bingar tersebut. Ia adalah ayam kampung. Ya, ayam kampung memang sepi , adem ayem, seakan tidak terpengaruh oleh situasi yang bergejolak di
lingkungannya. Ayam kampung sepi dari pembicaraan orang, sepi dari naiknya
harga pakan, sepi dari sirkulasi pasar, sepi dari program ini dan itu, bahkan
sepi juga dari sentuhan tangan para pengusaha.
Mengapa
demikian? Apakah ayam kampung itu “kesepian” dan “minder” sehingga tidak punya
nyali untuk tampil di kancah perunggasan? Atau karena atribut “kampung”
membuatnya sepi dari “peredaran”. Tapi bukankah pemerintah juga sudah menaikkan
“derajat”-nya dengan mengganti nama menjadi ayam buras (bukan ras). Tokh ayam
ini belum juga sempat dilirik oleh para pelaku usaha peternakan, apa lagi untuk
dibudidayakan secara besar-besaran.
Banyak
kalangan baik itu pengamat, praktisi, maupun peneliti yang mengemukakan bahwa
sebenarnya ayam kampung itu cukup potensial untuk bersaing di kancah
perunggasan. Beberapa diantaranya adalah melalui intensifikasi pemeliharaan.
Jadi sistem pemeliharaan yang selama ini hanya ‘sekedarnya’ harus dirubah
menjadi lebih ‘moderen’. Akan tetapi perlu juga kita akui bahwa ayam kampung
masih memiliki permasalahan yang membuatnya belum dijadikan pilihan usaha
peternakan.
Perbaikan
sistem melalui pola intensifikasi pemeliharaan merupakan cara atau pilihan yang
telah cukup banyak dilakukan oleh peternak (kecil). Hasilnyapun agaknya tidak
mengecewakan, yaitu dapat meningkatkan pendapatan peternak melalui cara ini.
Akan tetapi nilai tukar produk ayam kampung masih diuntungkan oleh adanya
anggapan-anggapan tradisi, seperti: telur ayam kampung memiliki khasiat
tertentu yang tidak dimiliki oleh telur ayam ras, rasa dagingnya yang lebih
enak, dan lain-lain angapan sejenis. Bukan berarti angapan-anggapan tersebut
salah atau perlu disalahkan, tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa
gejolak permintaan para konsumen itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
faktor ekonomis. Kalau dibandingkan dengan harga produk-produk ayam ras, memang
lebih mahal. Juga bagi produsen, ia akan memilih komoditas yang efisien dari
segi pemeliharaan.
Selain
itu ketersediaan produk ayam kampung tidak kontinyu, sementara permintaan akan
daging dan telur cenderung meningkat secara eksponensial. Hal ini membuat
peluang pasar ayam kampung ‘direbut’oleh ayam ras. Untuk permasalahan ini
agaknya perlu adanya program pembibitan ayam kampung untuk mendapat suplai
bibit secara kontinyu. Hanya saja permasalahan ini adalah daur reproduksi ayam
kampung relatif lebih lama/panjang sehingga cukup mengganggu kelancaran
ketersediaan bibit. Hal ini karena ayam kampung karus kawin, bertelur, mengeram
dan menetaskan, dan memelihara anak. Mengenai sifat mengeram dan memelihara
anak merupakan sifat alami yang tidak bisa dihilangkan begitu saja, tetapi
dapat dikurangi/manipulasi. Mengeram dan memelihara anak memerlukan jangka
waktu tertentu sehingga upaya yang dapat kita lakukan adalah mengurangi lamanya
jangka waktu tersebut seperti, tugas mengeram dan menetaskan telur diserahkan
kepada mesin tetas sehingga ayam tidak perlu lagi mengerami telurnya, meskipun
“hasrat” untuk mengeram tetap ada tetapi telah diminimalkan. Demikian juga
dengan mengambil alih “hak” ayam jantan melalui inseminasi buatan merupakan
sarana yang dapat dimanfaatkan untuk mempermudah upaya pembibitan.
Pilihan
lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki mutu genetik ayam kampung.
Untuk ini peranan seleksi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bibit-bibit ayam
kampung sesuai dengan yang diharapkan. Apa lagi ayam kampung itu sendiri cukup
beragam. Ini tentunya memberi peluang bagi kita untuk memilih dan memilah
ayam-ayam ungulan. Sejalan dengan ini dapat pula dilakukan pemuliabiakan
melalui persilangan antaragam ayam kampung. Beberapa daerah di Indonesia
memiliki ayam kampung yang tipikal, misalnya, ayam Nunukan di daerah
Kalimantan, ayam Kedu di daerah Kedu (Jawa Tengah), dan masih banyak lagi ragam
ayam kampung sesuai dengan kekhasannya masing-masing. Bila semua itu dimanfaatkan
dengan baik maka akan dapat meramaikan dunia persilangan ayam kampung dengan
harapan akan muncul “jawara-jawara” unggulan.
Akan
sangat menggembirakan lagi kalau kita dapat “menciptakan” ayam ras dari
ayam-ayam kampung kita sendiri. Ini membutuhkan teknologi rekayasa genetika.
Dengan mengotak-atik gen ayam kampung kita ciptakan ayam ras. Sebagaimana kita
ketahui bahwa nenek moyang ayam ras adalah ayam kampung juga. Maka tidaklah
menutup kemungkinan kita bisa memiliki Parent Stock
sendiri. Contohnya adalah Mesir, negara berkembang yang sudah mampu menciptakan
ayam ras dari ayam-ayam lokalnya. Kenapa kita mesti tidak bisa? Memang tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan, ini membutuhkan proses yang relatif panjang
dan lama.
Ada
satu lagi yang cukup memberi peluang bagi ayam kampung untuk bersaing, yaitu
memanfaatkan isu-isu aktual dan global. Isu-isu global yang turut mewarnai pola
konsumsi diantaranya adalah back
to nature, animal walfare,dan consumer protection. Berkenaan dengan hal tersebut, di negeri-negeri yang telah
maju, para konsumen lebih menghargai telur yang dihasilkan dari ayam-ayam yang
dipelihara dengan sistem range daripada sistem bateray yang dianggap
‘menyiksa’ ayam. Mereka juga lebih memilih telur dan daging yang lebih alami,
misalnya bebas zat aditif buatan, low fat, low cholesterol,
dan lain-lain yang sering dikaitkan dengan aspek kesehatan dan keamanan tubuh
manusia. Meskipun ini baru berlaku di negara-negara maju bukan berarti tidak
akan berlaku di Indonesia. Bukankah John Naisbitt telah “membuat” dunia tanpa
batas (borderless
world), sehingga memungkinkan konsumen
dari segala penjuru dunia memilih produk-produk negeri ini.
Untuk
yang satu ini, agaknya ayam kampung cukup memenuhi persyaratan isu global
tersebut. Tinggal bagaimana kita bisa mengemasnya dalam “bahasa” yang lebih
menarik dan ilmiah. Kita tidak lagi harus mengatakan bahwa telur ayam kampung
bisa sebagai obat kuat, dapat menyembuhkan orang kesetanan, atau ayam hitam
legam dapat berkhasiat sebagai jamu, dan sebagainya yang cenderung “mistis”.
Dengan mengemasnya secara ilmiah sesuai dengan tuntutan konsumen dewasa ini
maka produk ayam kampung cukup menjanjikan. Telur ayam kampung tidak lagi hanya
dijual pada mbok-mbok Jamu, tetapi ke hotel-hotel berbintang.
Akhirnya
sepinya ayam kampung dari hingar bingar dunia perungasan bukan berarti tidak
berpotensi untuk dibudidayakan oleh pengusaha. Hanya saja ini membutuhkan kerja
keras dari semua pihak dan saling kerja sama antara peternak dengan
lembaga-lembaga penelitian untuk terus menggali potensi ayam kampung. ::::::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar